Header Ads Widget

Responsive Advertisement

 VISIBLEMI - Saat ini media sosial dipengaruhi oleh para remaja yang melakukan self-diagnosis terhadap kesehatan mentalnya dan menganggap hal tersebut sebagai hal yang keren dan estetik untuk diekspos. Tren ini sering muncul di timeline sosial media dengan latar belakang dramatis dan melankolis. Mereka seakan-akan sedang berlomba-lomba menunjukkan kesedihan dan penderitaan mereka.

Sebelum membahas tren ini lebih dalam, alangkah lebih baiknya kita mengetahui apa itu gangguan kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental atau yang biasa disebut mental illness adalah kondisi kesehatan yang mempengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku atau suasana hati seseorang.

Ada banyak sekali jenis mental illness yang dapat dialami seseorang. Namun, yang biasanya cukup sering terjadi adalah gangguan kecemasan, kepribadian, gangguan makan, psikotik, suasana hati, stress pasca trauma dan depresi.

Setiap orang bisa mengalami gejala mental illness yang berbeda-beda tergantung pada penyakit dan tingkat keparahannya. Sedih yang berkepanjangan, ketakutan yang berlebihan, perubahan suasana hati yang ekstrim, munculnya pikiran untuk bunuh diri adalah beberapa gejala yang biasanya seringkali dialami. 

Ada banyak faktor yang menyebabkan ini semua terjadi, diantaranya adalah faktor lingkungan, faktor biologis dan faktor psikologis.

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keadaan mental adalah lingkungan keluarga, pertemanan atau pun lingkungan kerja/ sekolah yang cenderung dapat dikatakan toxic/ buruk atau tidak nyaman menurut pribadi kita. Sedangkan dari faktor biologis dapat disebabkan oleh gangguan pada fungsi sel saraf di otak, kelainan bawaan, luka otak karena kecelakaan, dan penyalahgunaan NAPZA.

Dari faktor psikologis, beberapa hal yang dapat menyebabkan penyakit mental adalah peristiwa traumatik seperti kekerasan seksual, kehilangan orang tua saat kecil, perasaan rendah diri, kesepian dan hal-hal lain sejenisnya.

Mental health sangatlah penting bagi kesehatan kita. Tetapi, banyak dari remaja yang mengekspos mental illness mereka yang mereka self-diagnosis dengan menggunakan aplikasi seperti Google. Self-diagnosis adalah mendiagnosis atau mengklaim diri sendiri sebagai orang yang mengidap sebuah penyakit berdasarkan pengetahuan dan informasi yang didapatkan secara mandiri tanpa dibantu dengan orang yang profesional.

Mencari-cari informasi sendiri dengan menggunakan internet juga tidak dapat dianggap sepenuhnya valid, sebab tidak jarang diri kita sendiri kurang mengerti tentang diri kita dan kondisi sebenarnya yang kita alami dan cenderung melebih-lebihkan kondisi yang sedang kita alami. Self-diagnosis sangat tidak dianjurkan karena mungkin terjadinya diagnosis yang salah dan pengobatan yang tidak tepat.

Self-diagnosis juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental itu sendiri. Sebagai contoh, kalian belakangan ini sering merasa pusing. Kemudian dari hasil pencarian, mendapati bahwa sakit kepala yang sering kalian alami mengindikasi penyakit tumor otak.

Oleh karena itu, kalian merasa khawatir dan stress yang berlebihan. Padahal belum tentu kalian mengidap tumor otak, namun kalian sudah merasa sangat khawatir.

Baru-baru ini sosial media dipenuhi dengan konten para remaja yang menunjukkan bahwa dirinya memiliki gangguan kesehatan mental, terutama depresi. Biasanya mereka menyampaikannya melalui beberapa cuplikan video yang sedang menyakiti dirinya sendiri, memotong rambut pendek bagi perempuan, menangis di kamar yang gelap dan diiringi dengan lagu-lagu sedih.

Terkadang mereka juga suka bercerita tentang penyebab mereka memiliki depresi.

Banyak hal yang dapat memicu terjadinya hal ini dan tidak jarang dikarenakan mereka memiliki trauma yang disebabkan oleh hubungan yang toxic, jam kerja yang tidak teratur, bos yang tidak ramah, terlalu dikekang oleh orangtuanya dan masih banyak lagi.

Bahkan, mereka membuat istilah-istilah yang keren dan terkesan lebih "biologis" agar semua perlakuan dan perkataan mereka menjadi semakin keren dan estetik. Sebagai contoh, memiliki orangtua yang terlalu protektif biasanya disebut strict parents, perkataan yang sedikit tajam dan menyakitkan hati mereka disebut verbally abusive, menyakiti dirinya sendiri dengan cara menggoreskan tulisan di tangannya disebut cutting, jam kerja yang terlalu banyak dan menekan disebut overwhelm dan masih banyak istilah-istilah yang mendukung mereka untuk membuat konten-konten mental health mereka terbungkus dengan rapih dan estetik.

Istilah strict parents yang pada awalnya digunakan untuk menggambarkan orangtua yang kaku dan membatasi berlebihan kebebasan dan hak anaknya, banyak digunakan oleh para remaja yang dilarang orang tuanya untuk pergi main keluar di atas jam 9 atau 10 malam. Sedangkan cutting adalah sebuah aktivitas yang masuk dalam kategori self-harmseseorang yang memiliki gangguan mental memiliki kecenderungan untuk menyakiti dirinya dikarenakan "aksi" menyakiti dirinya sendiri dapat memberikan rasa tenang, kepuasan, kelegaan dan dapat menjadi cara bagi penderita untuk meluapkan emosi marah, kesal, stres, depresi dan emosi lainnya.

Namun, tidak sedikit remaja-remaja yang melakukan cutting hanya sekadar ingin mencari perhatian lebih dari lingkungannya atau agar dianggap keren dan beda dari lainnya padahal dirinya tidak mengidap penyakit mental.

Bipolar disorder yang merupakan kelainan mental dimana pengidapnya memiliki suasana perasaan yang sangat labil, sering digunakan para remaja yang moody-an untuk mendeskripsikan dirinya sendiri padahal dia belum memiliki diagnosis dokter dan hanya melakukan beberapa menit googling di internet.

Tren yang ramai di media sosial ini menyebabkan banyak remaja yang tidak memiliki gangguan kesehatan mental melakukan self-diagnosis bahwa mereka juga memiliki gangguan kesehatan mental. Tren ini seharusnya kita hindari dan sudahi secepatnya karena sangat berdampak buruk bagi karakter dan mental para remaja yang kian hari terlihat semakin sensitif dan mudah menyerah bila dihadapkan dengan masalah.

Namun, tren ini juga terjadi karena remaja masih memiliki karakter yang belum stabil atau bisa disebut labil dan mudah terpengaruhi dengan apa yang mereka lihat di internet dan media sosial.

Kebiasaan melakukan tindakan self-diagnosis seharusnya kita hindari ketika kita telah merasakan hal yang aneh sedang terjadi pada diri kita. Menarik kesimpulan pada penyakit mental tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan informasi-informasi yang dapat diperoleh dari internet.

Alangkah lebih baiknya, kita segera berkonsultasi dengan tenaga medis yang profesional agar dapat menemukan obat dan solusi yang tepat dan tidak memperparah penyakit yang kita alami.

Era digital yang berkembang dengan sangat cepat telah menawarkan kemudahan kita dalam memperoleh informasi serta berkomunikasi. Namun, sangat disayangkan apabila kesempatan ini tidak diimbangi dengan sikap yang bijak dan cerdas dari diri kita sebagai pengguna.

Oleh karena itu, kita seharusnya lebih berhati-hati dan dapat melihat konsekuensi yang dapat terjadi dari melakukan segala sesuatu. Jangan sampai niat kita yang semula ingin mencari solusi dan obat dari suatu masalah atau penyakit, justru berubah menuju arah yang sebaliknya hanya untuk mendapatkan simpati dari orang banyak dan hanya untuk terlihat kekinian di mata masyarakat

(*/vxfkazz)